Skip to main content

Menuju Penyejukan Global

Bumi semakin panas. Inilah isu yang sedang panas-panasnya dibicarakan di mana-mana pada tahun-tahun terakhir. Seluruh dunia memperingati isu pemanasan global ini setiap 22 April (Hari Bumi), menyusul pula setiap 5 Juni (Hari Lingkungan Hidup).

Sebagian kalangan menanggapi dengan sangat serius, dengan melakukan berbagai pencegahan yang mungkin dilakukan. Sebagian orang lagi masih meragukan fenomena alam ini benar-benar terjadi, dan menganggap para ilmuan hanya mengada-ada saja. Dan yang paling parah, sebagian kalangan sisanya adalah yang sangat paham tentang makin panasnya bumi, lalu mereka justru membuatnya makin panas. Tanpa peduli akibatnya.

Isu pemanasan global memang penuh dengan kontroversi. Tetapi satu hal sudah jelas, bahwa jika kita merusak alam, maka alam akan balik menghancurkan kehidupan kita. Dalam keadaan normal, matahari memancarkan sinarnya menembus atmosfer dan memanaskan permukaan bumi. Udara panas tersebut kemudian memantul kembali ke luar atmosfer, namun sebagian udara panas tertahan oleh gas yang dikandung oleh atmosfer, antara lain karbon dioksida (CO2), metana (CH4), kloro fluoro karbon (CFC) dan nitrogen dioksida (NO2). Gas tersebut berfungsi untuk mengembalikan panas ke bumi. Sehingga bumi menjadi tidak dingin-dingin amat . Pemantulan panas ke bumi ini sering disebut sebagai “efek rumah kaca” ( green house effect ).

Pada dasarnya proses ini adalah proses yang sehat terjadi setiap hari. Tetapi kini menjadi tidak sehat akibat makin banyaknya gas seperti CO2, CH4, CFC, dan NO2 (selanjutnya disebut gas rumah kaca) terkandung dalam atmosfer sehingga hanya sedikit udara panas yang dapat menembus keluar atmosfer. Sisanya lebih banyak yang memantul lagi ke bumi. Bumi menjadi semakin panas.

Akibat yang dapat ditimbulkan dari makin panasnya bumi adalah mencairnya gunung es sehingga permukaan laut semakin naik. Ini menyebabkan puluhan pulau kecil di Indonesia kini telah tenggelam, dan naiknya gelombang pasang yang membahayakan penduduk dekat pantai yang telah terjadi di beberapa daerah di Indonesia beberapa waktu lalu. Suatu saat nanti banjir besar akan sering terjadi di seluruh dunia.

Musim kemarau panjang dan cuaca tidak menentu dapat mengakibatkan bencana kelaparan karena pertanian menjadi kurang produktif. Spesies hewan akan berkurang karena mereka tidak lagi mampu beradaptasi dengan alam. Serta merebaknya berbagai macam penyakit menjangkiti manusia (kepanasan, malaria, demam kuning, gangguan pernafasan, dan alergi). Hal-hal tersebut dapat memuncak kurang dari 100 tahun mulai sekarang.

Gas rumah kaca banyak dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak, batu bara, dan gas alam. Yang ikut andil dalam peningkatan gas tersebut adalah industri (limbah industri), kebakaran hutan, pertanian dan peternakan (limbah organik, dan juga rumah tangga (pengelolaan sampah yang kurang baik, pemakaian alat rumah tangga yang boros energi). Sementara pembabatan hutan untuk lahan pertanian dan industri kayu terus dilakukan, padahal pepohonan tersebut berfungsi sebagai penyerap gas rumah kaca agar tak terlalu banyak mengendap di atmosfer.

Diperkirakan sekitar 70 juta ton gas rumah kaca dibuang oleh seluruh dunia setiap hari. Indonesia sendiri berada dalam urutan keempat dunia dalam pembuangan gas rumah kaca terbanyak ( Seputar Indonesia , 24/03/2007). Sementara istilah ‘Indonesia sebagai ‘Paru-Paru Dunia' kini telah menjadi legenda. Karena baru-baru saja negara kita dinobatkan oleh Guinness Book of Records sebagai perusak hutan tercepat di seluruh dunia. Hutan andalan kita di Kalimantan telah berkali-kali menderita kebakaran dan penebangan membabi buta secara massal.

Mungkin tak lagi banyak waktu sekarang ini untuk saling menuding siapa yang salah. Apakah negara maju atau negara berkembang, apakah pihak pemodal atau rakyat banyak, yang jelas, bencana akibat pemanasan global ini harus kita cegah beramai-ramai.

Sambil menunggu hasil konvensi mengenai perbaikan lingkungan hidup antar-pemerintah, kita bisa mulai dengan melakukan hal-hal yang tampaknya kecil namun akan sangat berguna. Misalnya dengan hemat energi, memilih alat rumah tangga (kulkas, AC, TV dll) yang bebas CFC, hemat air, mengelola sampah dengan baik (membuang sampah pada tempatnya, mengurangi sampah plastik, dan sebisa mungkin mendaur ulang sampah), memilih berjalan kaki atau bersepeda dari pada menggunakan kendaraan bermotor yang menyumbang gas tadi, dan menanam pohon di belakang rumah. Bagaimanapun caranya, mari kita buat bumi semakin sejuk!

* Tulisan ini dimuat di Tabloid Parle (Agustus 2007)

Comments

Popular posts from this blog

Indonesia Butuh Strong Leadership

Oleh: Ch Robin Simanullang Wartawan Tokoh Indonesia Sepuluh tahun reformasi telah membuahkan berbagai perubahan menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Terutama perubahan di bidang politik (demokrasi dan kebebasan berpendapat) telah mencapai hasil terbaik dibanding bidang lain. Tapi masih belum berhasil di bidang ekonomi (menyejahterakan rakyat). Faktor pemimpin yang kurang kuat tampaknya justru memperlambat pencapaian hasil menyejahterakan rakyat tersebut. Dari pengalaman 10 tahun reformasi itu, agar refor- masi, demokrasi, penegakan hukum dan keamanan bermuara (menjadi solusi) pada kesejahteraan rakyat, Indonesia sangat butuh pemimpin yang kuat ( strong leadership ).

Shalat di Pura Langgar

Mengenal Pura Langgar yang Bisa Dijadikan Tempat Salat (1) Berawal dari Mimpi Diperintah Buat Pelinggih Berbentuk Langgar lintangbuanatours.com oleh Sentot Prayogi, Radar Bali , 25 Juli 2012 Banyak kawasan objek pariwisata yang merupakan hasil akulturasi Hindu dengan agama lain. Termasuk akulturasi Hindu-Islam. Tapi Pura Langgar di Desa Bunutin bisa jadi satu-satunya bentuk akulturasi Hindu-Islam yang hingga kini masih menyatu. Yakni pemanfaatan pura yang tak hanya untuk upacara keagamaan umat Hindu, tapi juga bisa digunakan sebagai tempat shalat.

Perpustakaan Betawi di Jazzy Friday

Jum’at kemarin, di saat orang Amerika rame-rame merayakan Independence Day mereka, di Jakarta sini saya merasa --meminjam istilah Letto--, teraniaya sunyi. Namun tentunya anak gelandangan seperti saya tidak begitu sulit menemukan tempat berlabuh kalau sedang kesepian, khususnya di hari Jum’at. Pilihannya perpustakaan, atau pasar festival. Atau keduanya.