Skip to main content

Miss Terrorist

Jawablah dengan cepat! Kalau Anda perempuan, dan akan menghadiri suatu acara penting, apa yang pertama kali akan Anda pikirkan?

Yak, betul. Baju!
Hm, sebenarnya tidak cuma perempuan, laki-laki juga mungkin berpikir sama. Tapi, kalau kaum yang satu ini ditanya pertanyaan di atas, jawabannya pasti sok-sok salah.

“Pakai baju apa ya?” begitulah yang akan ada di benak sambil mencocok-cocokkan setelan dari kepala sampai kaki.

Minggu lalu, ketika akan menghadiri sebuah festival internasional, saya pun demikian. Festival ini menghadirkan penulis-penulis dari dalam dan luar negeri, yang akan numplek blek di Ubud Bali. Saya pastinya bersemangat sekali ingin hadir. Sampai kemudian menjelang hari H, saya belum juga memutuskan untuk memakai baju apa. Pasalnya, biasanya sehari-hari saya memakai jilbab –the so called ‘busana Muslim’-, dan, saya bingung menentukan model bagaimana yang akan saya kenakan?

Model jilbab secara umum dapat dibagi menjadi tiga:
Pertama, model jilbab yang cukup lebar, menutupi tubuh sampai ke pinggang, yang oleh para ibu dinamakan ‘jilbab Teh Ninih’ karena modelnya menyerupai gaya yang selalu dipakai Teh Ninih, istri pertama (penting ya nyebut urutan?) Aa Gym.

Kedua, juga model jilbab yang kurang lebarnya dibanding yang pertama tadi. Jadi, hanya menutupi bagian tubuh sampai dada, yang kadang-kadang bisa terbang-terbang sedikit kalau tertiup angin kencang.

Terakhir yang ketiga, model jilbab yang hanya menutupi bagian kepala. Sisa kainnya diikat kencang-kencang di leher, atau lenyap di dalam baju. Cara pemakaian jilbab yang seperti ini banyak digemari karena bisa memamerkan model baju yang sedang dikenakan secara utuh.

Mengapa saya begitu peduli menimbang-nimbang tiga tipe model ini?
Saya akan mengakui di sini bahwa ada sejumput ketakutan di diri saya untuk hadir melenggang di acara festival internasional tersebut, berkaitan dengan persoalan jilbab ini. Jilbab sudah melekat dengan budaya Muslim. Jadi ketika seorang perempuan berjilbab, dia akan mewakili kaum Muslim. Ada konsekuensi yang mesti ditanggung.

Sewaktu pertama kali mengenakannya, terus terang saja saya tidak pernah berpikir sejauh ini. Karena, saya pikir, toh di kanan kiri saya banyak sekali yang mewakili kaum yang sama. Jadi kalau ada apa-apa, ditanggung rame-rame.

Tapi kali ini berbeda. Saya tidak lagi akan menampilkan jilbab di tengah-tengah orang yang juga berjilbab, atau terbiasa melihat orang berjilbab. Saya justru akan berada di tengah orang-orang yang asing melihat pakaian jenis ini, dan kalaupun pernah melihat, mereka mungkin hanya sering melihat di televisi, di acara-acara bulan puasa. Pasti berbeda ketika nanti melihatnya langsung. Live. Dan sayalah yang akan jadi pusat perhatian itu.

Yah, begitulah kira-kira dugaan saya, sampai saya ketakutan bercampur ke-GR-an.

Maka bertanyalah saya kepada Ibu saya mengenai hal ini. Bagaimana ya sebaiknya? Di sana nanti sebagian akan ada turis-turis. Sebagiannya lagi adalah umat Hindu di Bali. Ketika saya lihat daftar pengarang yang akan hadir, tak satu pun dari mereka yang saya perkiraan akan memakai jilbab juga. Entah kalau tamu-tamu yang lain. Tapi intinya, saya akan jelas-jelas menjadi kaum minoritas. Seketika terngiang lagu Sting, “I’m an alien, i’m a legal alien... I’m an Englishman in New York....”

Tak saya duga, sang ibunda malah mengomel panjang. Menasehati saya untuk berhenti takut. “Apa maksudnya kamu ini malu menjadi Muslim? Takut menunjukkan kamu Muslim? Tidak boleh, Nak. Itu dosa!” demikian beliau berkata telak. Tak menghiraukan gumaman saya soal tragedi WTC dan bom Bali dan bahwa acara ini pun bertempat di Bali. Mana kasus Amrozi masih saja dibahas di koran-koran, tak rampung-rampung juga. Dan wajah saya yang sedikit bernuansa Timur Tengah juga memunculkan kecemasan, takut dikira cucunya Osama. Kalau sudah begitu, semua hadirin akan menoleh ke saya dan menuding-nuding, ‘There’s a terrorist here! She’s the terrorist! She’s Miss Terrorist! Kill her!!!’

Huahh! Betapa ngerinya.

Tapi setelah dirasa-rasa, pemikiran-pemikiran semacam itu sangatlah berlebihan. Hanya mungkin singgah di kepala orang yang picik seperti saya. Dan toh, saya akan hadir di acara para sastrawan dan budayawan yang secara universal mereka memiliki tabiat halus budi, beradab dan bijaksana. Mungkin keadaannya akan berbeda kalau politikus seperti George Bush juga akan hadir, tapi untungnya tidak.

Jadi, seharusnya memang tak perlu takut. Kalau kita tampil jujur dan apa adanya, orang pasti akan menghargai. Dan lagipula, memangnya saya ini siapa sih? Julia Robert juga bukan. Jadi orang juga tidak akan notice. Maka dengan terus menerus mendoktrin diri sendiri, pada menit-menit terakhir akan berangkat, saya berhasil memutuskan dengan percaya diri, jilbab mana yang akan saya pakai.

Ahmad Tohari & Me
Ternyata walhasil, para bule itu rata-rata tersenyum ramah setiap kali papasan. I feel like they are all welcoming me. Seorang bule, ibu-ibu yang duduk di dekat saya di sesi terakhir, bahkan memuji motif jilbab saya. Katanya, di kampungnya di Sydney, banyak juga orang-orang yang memakai pakaian seperti ini. Tapi mereka motifnya polos. Sedang saya pakai motif yang sedikit kerlap-kerlip karena hiasan mote warna-warni di bagian kepala. Itu menarik sekali, katanya. Saya cuma cengar-cengir sambil bilang, “Thank you,” pelan.

Ada pula seorang bapak asal Jakarta dengan ramah menyapa, “Assalamu alaikum,” waktu saya lewat di depannya. Beliau pasti tidak menyapa begitu ke semua orang yang lewat. Saya lalu dipersilahkannya duduk di sebelahnya dan mengobrol sedikit. Itu sangat menyenangkan karena menemukan orang yang bisa diajak bercakap-cakap dengan bahasa yang sama. (a few months later, we meet again in Jakarta, and we become good friends til now :), he's Mr. Dedi Panigoro!)

Seharian itu, hanya ada satu orang perempuan lagi yang menganut fashion yang sama dengan saya. Dia kontan saya sapa dengan riang gembira.

Yah, begitulah, sampai saat acara usai, saya pulang dengan pemahaman baru terhadap kata teroris. Teroris yang selama ini disinonimkan dengan tukang ngebom, sebenarnya bermakna orang yang menciptakan ketakutan di tengah kedamaian. Orang lain yang sedang tenang-tenang, santai-santai, tahu-tahu dibikin takut. Dibikin panik.

Dan saya sempat juga menjadi teroris. Yah, setidaknya meneror diri sendiri.



PS: Tips dari Sting, “Be your self, no matter what they say....”

Comments

  1. pengalaman yang menarik naj... :)

    - alif -

    ReplyDelete
  2. Tiap kali baca tulisan bagus, aku sulit komentar. Paling-paling cuma bisa nulis "Wuiih, kereeen" :-)

    ReplyDelete
  3. Makasih ya... :)
    Sama kerennya kok sama yg berkomentar.. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Shalat di Pura Langgar

Mengenal Pura Langgar yang Bisa Dijadikan Tempat Salat (1) Berawal dari Mimpi Diperintah Buat Pelinggih Berbentuk Langgar lintangbuanatours.com oleh Sentot Prayogi, Radar Bali , 25 Juli 2012 Banyak kawasan objek pariwisata yang merupakan hasil akulturasi Hindu dengan agama lain. Termasuk akulturasi Hindu-Islam. Tapi Pura Langgar di Desa Bunutin bisa jadi satu-satunya bentuk akulturasi Hindu-Islam yang hingga kini masih menyatu. Yakni pemanfaatan pura yang tak hanya untuk upacara keagamaan umat Hindu, tapi juga bisa digunakan sebagai tempat shalat.

Indonesia Butuh Strong Leadership

Oleh: Ch Robin Simanullang Wartawan Tokoh Indonesia Sepuluh tahun reformasi telah membuahkan berbagai perubahan menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Terutama perubahan di bidang politik (demokrasi dan kebebasan berpendapat) telah mencapai hasil terbaik dibanding bidang lain. Tapi masih belum berhasil di bidang ekonomi (menyejahterakan rakyat). Faktor pemimpin yang kurang kuat tampaknya justru memperlambat pencapaian hasil menyejahterakan rakyat tersebut. Dari pengalaman 10 tahun reformasi itu, agar refor- masi, demokrasi, penegakan hukum dan keamanan bermuara (menjadi solusi) pada kesejahteraan rakyat, Indonesia sangat butuh pemimpin yang kuat ( strong leadership ).

Perpustakaan Betawi di Jazzy Friday

Jum’at kemarin, di saat orang Amerika rame-rame merayakan Independence Day mereka, di Jakarta sini saya merasa --meminjam istilah Letto--, teraniaya sunyi. Namun tentunya anak gelandangan seperti saya tidak begitu sulit menemukan tempat berlabuh kalau sedang kesepian, khususnya di hari Jum’at. Pilihannya perpustakaan, atau pasar festival. Atau keduanya.