Skip to main content

Tiga Putu yang Memikat

Putu yang saya maksud bukanlah sejenis kue, tapi nama orang. Di Bali, ada semacam tradisi -meski bukan keharusan- untuk memberi nama depan anak berdasarkan urutan lahirnya. Putu atau Wayan untuk anak pertama, Kadek atau Made untuk anak kedua, Komang untuk anak ketiga, Ketut untuk anak keempat, dan kembali lagi Putu atau Wayan untuk anak kelima, Kadek atau Made untuk anak keenam, dan seterusnya.

Saya tidak tahu pasti urutan lahir keberapa tiga Putu berikut ini, tetapi satu hal yang pasti, mereka merupakan sosok yang sangat memikat. Mereka adalah Putu Wijaya, Putu Setia, dan Putu Pendit. Ketiga tokoh ini, dalam pandangan saya, memiliki setidaknya tiga kesamaan. Pertama, sama-sama orang Bali tetapi sudah lama tak menetap di Bali; kedua, sama-sama penulis karya-karya yang luar biasa; dan ketiga, sama-sama pejuang tangguh di bidangnya.

Di sini saya tak hendak menganalisis apalagi mengkritik karya-karya mereka, tetapi hanya menceritakan bagaimana nama mereka bisa melekat dalam memori saya. Baiklah kita bahas satu per satu. Akan saya urut berdasarkan nama yang lebih dulu saya kenal.


Putu Wijaya. Nama ini sudah akrab di mata saya sejak SMP kelas I (1994). Buku-buku kumpulan cerpen dan novelnya berderet di rak fiksi perpustakaan umum yang kerap saya kunjungi. Yang langsung saya sadari adalah bahwa penulis ini sering hanya menggunakan satu kata untuk tiap judul karyanya yang sudah berjumlah ribuan itu. Misalnya Bom, Bor, Gres, Maling, Protes, Lho, Aduh, dan sebagainya.

Kalaupun lebih dari satu kata, judulnya akan seperti ini: Dag-Dig-Dug, Cas-Cis-Cus, Byar-Pet, Dar-Der-Dor, Zig-Zag, dan semacamnya. Bagi siswa SMP yang kuper seperti saya, ada kesenangan tersendiri menemukan buku-buku yang ‘tidak biasa’. Di saat teman-teman saya masih tergila-gila dengan Petualangan Lima Sekawan dan Misteri Trio Detektif, saya membaca Anu, Gerr, dan Edan. Kala itu saya tak mampu menghabiskan semua buku. Saya baca lompat-lompat, biasanya mulai dari judul yang paling nyeleneh. Rata-rata ceritanya mudah dimengerti, bahkan cenderung ngawag (asal-asalan), kalau orang Bali bilang. Tetapi entah bagaimana saya paham bahwa cerita-cerita itu pastilah sarat makna. Cobalah cerpen beliau yang ini dan yang ini.

Ada pemahaman yang melekat di benak waktu itu, bahwa karya yang berani tampil lain dari yang lain adalah karya yang layak dihormati. Saya waktu itu belum mengenal kata surealis, metafor, atau absurd dalam suatu cerita. Jadi kadang-kadang saya berpikir bahwa si pengarang buku ini tentulah orang gila. Cuma orang gila yang bisa membayangkan kejadian-kejadian unik seperti yang ditunjukkan dalam kebanyakan tulisan I Gusti Ngurah Putu Wijaya. Belakangan, dalam sebuah ulasan pertunjukan teater yang ditulis Hikmat Gumelar, saya mendengar kabar baik, bahwa pengarang yang suka bertopi pet itu masih gila sampai sekarang. Selain telah ditunjukkannya dalam bentuk tulisan, juga ditampilkannya dalam bentuk teater. Saya yakin, butuh perjuangan berat untuk tetap gila di tengah orang-orang yang waras.



Beralih ke Putu yang berikutnya, yaitu Putu Setia. Waktu itu tingkat pertama di universitas (1999) ketika saya menemukan sebuah buku kumpulan esai di perpustakaan yang judulnya gagah, Menggugat Bali. Penulisnya orang Bali. Isinya, sudah tentu, gugatan untuk Bali. Mendebarkan untuk membacanya sampai selesai, karena setelah hampir dua puluh tahun tinggal di Bali, yang saya rasakan hanyalah kedamaian tak terusik. Jadi siapakah orang ini yang berani mengusik pulau paling tenang di Indonesia?

Bukunya yang lain adalah kumpulan cerpen Intel dalam Comberan, yang isinya semenarik judulnya. Sayang sekali saya tak berkesempatan membaca karya-karya fiksi beliau yang lain. Tapi tulisan-tulisan Putu yang sarat gugatan masih setia sampai sekarang muncul di kolom Koran Tempo Minggu dan Bali Post Sabtu. Yang terakhir ini telah juga dipublikasikan dalam bentuk buku sekuel berjudul Mendebat Bali. Benar-benar membuka wawasan ketika membaca bahwa begitu banyak hal yang bisa dipermasalahkan di pulau mungil yang tampak tentram ini. Yang khas dari Putu Setia adalah kalimat-kalimat sentilannya yang memancing cengiran atau pun garuk-garuk kepala bagi pihak yang tersindir. Lihatlah contoh-contoh tulisannya di sini.

Kolumnis, mestilah punya sifat nakal, kata Laksmi Pamuntjak suatu kali di sebuah forum penulis. Dan untuk menjadi senantiasa nakal dalam mengomentari persoalan dunia yang serius, diperlukan seorang yang berjiwa pejuang. Putu Setia, menurut tuduhan saya, adalah pejuang yang tangguh.


Last but not least, Putu Pendit. Ia lahir di keluarga yang akrab dengan dua hal: menulis dan perpustakaan. Nyoman S. Pendit, sang Ayah, telah menulis epik Mahabrata, Ramayana, menerjemahkan Bhagavadgita serta menulis buku-buku yang berkaitan dengan pariwisata, Bali, Hindu dan lainnya. Sedang sang Ibu, Murtini Pendit, adalah pengelola Perpustakaan Idayu, pada masa pemerintahan Bung Karno, dan tetap aktif di dunia kepustakawanan hingga sekarang.


Dan sang putra, setelah lulus kuliah dari jurusan Jurnalistik, dan juga Ilmu Perpustakaan dan Informasi, sehingga mencapai gelar Doktor, kini menjadi pengajar dan peneliti di Royal Melbourne Information Technology (RMIT) . Beliau juga mengajar di Universitas Indonesia dan pernah menjabat Kepala Perpustakaan Fakultas Sastra UI, selain aktif menjadi pembicara dalam seminar-seminar yang berkaitan dengan ilmu perpustakaan.

Dan mengapa giliran tentang Putu Pendit lalu saya membawa-bawa urusan orang tua dan akademis? Jawabannya karena, saya juga mengidolakan kedua orang tua beliau, dan dalam urusan akademislah saya berjumpa dengan beliau. Tak seperti dua Putu lainnya yang hanya berjumpa lewat buku, saya dan Putu Pendit pernah bahkan berbicara langsung! Yah, itu sangat mungkin terjadi kalau Anda pernah menjadi mahasiswa di Jurusan Ilmu Perpustakaan UI. :)

Sulit untuk mengatakan bahwa dosen yang satu ini tidak menarik. Bahkan mata kuliah yang judulnya membosankan semacam ‘Pengantar Metode Penelitian’ dan ‘Perpustakaan Umum’ pun bisa jadi favorit. Ada dua sisi dalam diri Bapak yang dari bentuk kepalanya bisa terlihat ciri-ciri kejeniusan ini, yaitu: pertama, dalam pembahasannya tentang hal-hal ilmiah dia bisa begitu serius. Menggunakan bahasa langit yang susah dicerna, kata seorang kawan saya. Memang susah juga barangkali menjelaskan teori-teori filsafat ilmu kalau memakai bahasa pasaran.

Tapi ada sisi yang lain dari Mr. Pendit ini, yaitu kecenderungan dalam tulisan-tulisannya untuk juga gila dan nakal, tak kalah dibanding tulisan dua Putu tersebut di atas. Di tengah kestatisan –kalau bukan keterpurukan- dunia perpustakaan di Indonesia, bersuaralah ia sebagai pengobar semangat kaum muda pustakawan untuk maju. Begitu provokatif suara-suara dari beliau hingga tak jarang memancing gelegak emosi dari lawan-lawannya. Sudah bertahun-tahun sejak tak banyak perubahan perihal kepustakawanan di Indonesia dan Putu Pendit sampai kini tak lelah dalam misi ofensifnya. Boleh disimak salah satu tulisannya di mailing list soal perpustakaan di sini.

Ia menjadi serius dan ilmiah ketika mengajarkan sesuatu kepada kami, para mahasiswa atau pun peserta seminar, tapi menjadi penyerang yang pedas bercampur kocak dalam posting-postingnya di milis. Sedang dalam blog, ia menggabungkan keduanya: penjabaran ilmiah dengan sentuhan humor yang total menggelitik. Tidakkah ia begitu lengkap?

Tulisan ini sendiri tak sanggup menjadi lengkap, karena keterbatasan waktu dan ruang. Membahas ketiga tokoh bernama Putu di atas tak akan bisa selesai, selama mereka pun tak habis-habisnya berkarya. Kepada mereka saya berterima kasih karena sudah mencontohkan saya banyak hal. Tentang menulis. Tentang perjuangan. Tentang keberanian. Semoga suatu hari nanti pencapaian saya bisa seperti mereka, walaupun nama saya bukan Putu.

Comments

  1. Sepanjang hayat ketika mengenal Putu Pendit, saya salah satu pengagumnya...sekalipun saya pernah mendapat kritik "PEDAS" ternyata malah menggelorakan saya untuk mengikuti jejaknya, sekalipun cara berjalannya berbeda, Putu Pendit akademisi sejati, sedangkan saya dijalur praktisi , tujuannya sama PERPUSTAKAAN INDONESIA.
    Luv PUTU

    ReplyDelete
  2. Bravo Pak Putu Pendit dan perpustakaan Indonesia! hehehe...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Indonesia Butuh Strong Leadership

Oleh: Ch Robin Simanullang Wartawan Tokoh Indonesia Sepuluh tahun reformasi telah membuahkan berbagai perubahan menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Terutama perubahan di bidang politik (demokrasi dan kebebasan berpendapat) telah mencapai hasil terbaik dibanding bidang lain. Tapi masih belum berhasil di bidang ekonomi (menyejahterakan rakyat). Faktor pemimpin yang kurang kuat tampaknya justru memperlambat pencapaian hasil menyejahterakan rakyat tersebut. Dari pengalaman 10 tahun reformasi itu, agar refor- masi, demokrasi, penegakan hukum dan keamanan bermuara (menjadi solusi) pada kesejahteraan rakyat, Indonesia sangat butuh pemimpin yang kuat ( strong leadership ).

Shalat di Pura Langgar

Mengenal Pura Langgar yang Bisa Dijadikan Tempat Salat (1) Berawal dari Mimpi Diperintah Buat Pelinggih Berbentuk Langgar lintangbuanatours.com oleh Sentot Prayogi, Radar Bali , 25 Juli 2012 Banyak kawasan objek pariwisata yang merupakan hasil akulturasi Hindu dengan agama lain. Termasuk akulturasi Hindu-Islam. Tapi Pura Langgar di Desa Bunutin bisa jadi satu-satunya bentuk akulturasi Hindu-Islam yang hingga kini masih menyatu. Yakni pemanfaatan pura yang tak hanya untuk upacara keagamaan umat Hindu, tapi juga bisa digunakan sebagai tempat shalat.

Perpustakaan Betawi di Jazzy Friday

Jum’at kemarin, di saat orang Amerika rame-rame merayakan Independence Day mereka, di Jakarta sini saya merasa --meminjam istilah Letto--, teraniaya sunyi. Namun tentunya anak gelandangan seperti saya tidak begitu sulit menemukan tempat berlabuh kalau sedang kesepian, khususnya di hari Jum’at. Pilihannya perpustakaan, atau pasar festival. Atau keduanya.