Seorang wanita bertanya kepada penjual susu, “Mas, ini benar-benar susu segar?”
Jawab si penjual, “Mbak, tiga jam yang lalu itu adalah rumput segar.
Ada perdebatan mengenai apakah susu sapi zaman sekarang sungguh-sungguh sehat, atau malah justru mengandung penyakit. Beberapa penelitian menyatakan bahwa hal ini banyak tergantung dari sapi perahnya. Apa yang ia makan dan bagaimana pemeliharaan kesehatannya. Menurut Prof. Made Astawan, seorang ahli teknologi pangan dan gizi, pakan sapi harus diatur agar bermutu baik dan mengandung zat-zat gizi yang memadai, bebas dari antibiotika dan bahan-bahan toksik lainnya. Dengan demikian, sapi perah akan menghasilkan susu dengan komposisi gizi yang baik.
Kandungan gizi terbaik memang terdapat dalam susu segar, namun kecil peluang kita untuk mendapatkan susu langsung setelah diperah. Umumnya susu yang kita konsumsi adalah susu olahan, baik dalam bentuk cair (pateurisasi, UHT) maupun susu bubuk. Hingga saat ini yang dianggap cara pengolahan paling sehat adalah UHT (Ultra High Temperature) yaitu proses pemanasan susu sampai 140°C selama 4 detik. Tujuannya adalah membunuh semua bakteri dalam susu hingga steril. Waktu pemanasan yang singkat ini dimaksudkan untuk mencegah kerusakan nilai gizi susu serta untuk mendapatkan warna, aroma dan rasa yang relatif tidak berubah seperti susu segarnya. Bandingkan dengan proses pasteurisasi yang memakan waktu 15 detik.
Mitos yang ada saat ini menyebutkan susu sebagai minuman, padahal lebih tepat jika susu disebut makanan sehat. Karena kandungan gizinya yang lengkap, susu diyakini oleh para ahli gizi sebagai makanan yang hampir sempurna. Di dalamnya terkandung air, protein, karbohidrat, lemak, mineral, kalsium, gula, gas, serta vitamin A, C, dan D. Oleh karenanya susu dapat mencegah pengeroposan tulang dan gigi, penyakit jantung, kanker usus, stroke, diabetes, serta tekanan darah tinggi. Secara signifikan susu juga jika dikonsumsi setiap hari sedari dini, dapat mengoptimalkan pertumbuhan tulang, dengan demikian dapat menambah tinggi badan. Terbukti bangsa Jepang yang dulunya terkenal kate, kini rata-rata sudah makin tinggi. Itu adalah sejak perekonomian mereka membaik, mereka mulai mengonsumsi susu.
Masyarakat Indonesia telah mengenal susu sejak zaman penjajahan Belanda, di abad ke-18. Saat itu sinyo-sinyo Belanda meminum susu setiap pagi, sementara kaum bumiputera hanya bisa menatap. Kini setelah ratusan tahun berlalu, orang Belanda di negeri mereka masih meminum susu setiap pagi. Sedang orang Indonesia, meminum susu rata-rata hanya dua gelas setiap bulan.
Konsumsi susu di Indonesia saat ini adalah terendah sedunia, yaitu hanya 7-8 liter per tahun per orang. Sementara Vietnam lebih tinggi, yaitu 9 liter, dan Malaysia sudah mencapai 25 liter per tahun per orang (Antara, 01/07/07). Bandingkan dengan Cina, yang telah menargetkan setengah jumlah penduduknya untuk minum satu liter susu setiap hari. Itu berarti mereka mesti menyediakan setengah milyar susu setiap hari. Hal ini menyebabkan Cina saat ini menjadi produsen susu terbanyak sekaligus negara pengimpor susu terbesar sedunia.
Beberapa penyebab mengapa konsumsi susu di Indonesia rendah antara lain: Pertama, makin mahalnya harga susu dunia saat ini. Ditambah lagi dengan kurang efisiennya sistem peternakan sapi perah di Indonesia, sehingga produksi susu kita hanya dapat memenuhi sekitar 30% kebutuhan susu nasional. Sisanya dari impor. Kedua, adalah masalah lactose intolerance, yaitu ketika tubuh kita tidak lagi dapat mencerna laktase sebaik waktu kita kecil. Ini menyebabkan sebagian orang dewasa akan diare setelah mengonsumsi susu. Namun, sebenarnya jika terus dibiasakan, maka tubuh kita akan terlatih menerima laktase hingga responnya tidak lagi negatif. Ketiga, barangkali adalah budaya di negeri kita yang belum memasukkan susu sebagai food habits. Susu hanya dianggap sebagai asupan pelengkap, bukan yang utama.
Dalam hal ini, pemerintah Indonesia sendiri telah mencanangkan program Indonesia Kolam Susu yang terkait dengan isu pembibitan sapi perah untuk menyediakan bahan baku susu yang mencukupi dan berkualitas untuk Industri Pengolah Susu. Ini selari dengan yang dikatakan oleh Ketua Pengurus APSPI (Asosiasi peternak Sapi Perah Indonesia) Jawa Barat, AS Panji Gumilang, bahwa untuk dapat mencukupi kebutuhan susu di masa mendatang sebaiknya Indonesia tidak lagi mengimpor susu, tetapi mengimpor ‘pabrik susu’nya, yaitu sapi perah. Pemimpin Pesantren Al-Zaytun ini sendiri untuk pesantrennya akan mendatangkan tak kurang dari seribu sapi perah yang sedang hamil dari New Zealand pada bulan April mendatang. Untuk itu kini tengah disiapkan penyediaan pakan ternak yang memadai melalui program pertanian terpadu. Direncanakan juga program embrio transfer untuk sapi-sapi tersebut setelah mereka melahirkan pertama, sehingga nantinya diharapkan dapat menghasilkan sapi-sapi unggulan terbaik asli Indonesia (Majalah Trobos, Sept 2007).
Ini merupakan sebuah upaya yang baik untuk mengembangkan produk susu dalam negeri. Jadi, mari kita dukung revolusi putih di Indonesia!
Comments
Post a Comment